• Breaking News

    Perkuat Saja Undang-undang Pendidikan Kedokteran Saat Ini


    Padang – Keluhan publik terhadap profesi dokter menjadi perhatian wakil rakyat. Menyikapi biaya pendidikan yang tinggi, optimalisasi mutu pendidikan dan maldistribusi tenaga dokter di Indonesia dibuatlah rancangan undang-undang (RUU) untuk menjawab hal tersebut.
    RUU tentang pendidikan kedokteran ini menggantikan Undang-undang nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
     “Rancangan undang-undang ini dibuat agar biaya pendidikan bisa dikurangi dengan subsidi pemerintah, mutu dapat ditingkatkan dengan penguasaan teknologi kesehatan dan penyelenggaraan uji kompetensi tidak wajib diwajibkan lagi agar memenuhi kebutuhan dokter dan pendistribusian dokter yang lebih baik lagi,” ujar Anggota DPD RI H. Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP., MH usai pertemuan dengan Kepala Dinas Kesehatan Sumbar, IDI Sumbar, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RS M Djamil, Konsultan RS M Djamil Padang dan UU Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013.
    Leonardy menegaskan penguasaan teknologi kesehatan di Indonesia masih di bawah Malaysia Singapura dan Thailand. Bahkan hanya setingkat di atas Kamboja.
    Diungkapkannya, tenaga dokter yang ada saat ini dokter umum dan spesialis masih terbatas di Indonesia Bagian Barat. Sekitar 92.471 dokter umum dan 22.256 dokter spesialis ada berada di Indonesia Bagian Barat. Di Indonesia Bagian Tengah berjumlah 15.968 dokter umum dan 4.293 dokter spesialis. Sedangkan di Indonesia Bagian Timur hanya 1.472 dokter umum dan 227 dokter spesialis. Juga ada 38.796 mahasiswa kedokteran yang belum lulus ujian kompetensi.

    “Saya yakin, pertemuan dengan Dinas Kesehatan Sumbar, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RS M Djamil Padang, IDI Sumbar dan lainnya bakal menghasilkan pandangan yang bernas untuk penyempurnaan rancangan undang-undang ini,” ungkapnya.

    Pandangan-pandangan terhadap rancangan itu sangat berarti untuk kemajuan dunia kedokteran di Indonesia. Peningkatan kualitas dokter harus dibarengi dengan naiknya kepedulian atas peralatan dan fasilitas penunjangnya. Termasuk dalam hal ini, soal insentif yang disesuaikan dengan tuntutan kompetensi.
    Jangankan itu, aturan turunan sebagaimana layaknya sebuah undang-undang boleh dikata belumlah lengkap. “Bagus juga kita lengkapi aturan-aturan turunannya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan menteri untuk memperkuat undang-undang. Jangan sampai undang-undang berganti terus saat dirasa kurang. Sumber daya habis, tapi malah menurunkan kualitas dokter khususnya dan kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya,” tegas Leonardy.
    Fakta yang memiriskan, dari 20 besar rumah sakit di ASEAN, tidak ada satu pun nama rumah sakit Indonesia. Padahal Indonesia sudah susah payah mengupayakan akreditasi rumah sakit yang menyedot dana besar.
    Oleh karena itu pemerintah hendaknya menyegerakan aturan turunan sebagai payung hukum keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam memajukan pendidikan kedokteran. Biaya operasional pendidikan kedokteran dihitung secermat mungkin, lalu persentase keikutsertaan pemerintah diatur, sehingga penyelenggara pendidikan kedokteran tidak seenaknya memungut biaya kuliah dan uang pembangunan yang fantastis.
    Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Dr Merry Yuliesday, MARS pun setuju dengan usulan untuk memperkuat undang-undang yang sudah ada dengan aturan turunan. Terlebih saat ini pemerintah daerah menerapkan pula retribusi daerah bagi calon dokter yang sedang dalam pendidikan di rumah-rumah sakit daerah.
    Dia pun memandang peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin uji kompetensi menghasilkan tenaga dokter yang kompeten. Begitu juga dengan pembenahan sistem, kurikulum dan biaya pendidikan.
    Dekan Fakultas Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Dr. dr. Wirsma Arif Harahap, SpB (K)-Onk, secara tegas menyebutkan rancangan undang-undang ini berbenturan dengan undang-undang lainnya. Misalnya dengan Undang-undang Dikti ijazah hanya diberikan untuk pendidikan akademik, tapi menurut RUU ini dokter diberikan ijazah. “Hal kecil-kecil ini saja sudah memunculkan permasalahan. Harus mendapat perhatian,” ujarnya.
    Begitu juga dengan standard kompetensi. Pada UU Dikti diatur oleh pemerintah, sementara di RUU diatur oleh asosiasi.
    Ia juga malah mengkhawatirkan banyaknya jumlah dokter yang dihasilkan oleh 83 fakultas kedokteran di berbagai universitas di Indonesia. Ada sekitar 11.000 dokter yang dihasilkan institusi pendidikan kedokteran per tahun.
    Ditegaskannya paling banyak dihasilkan oleh perguruan tinggi swasta, karena 63 fakultas kedokteran dikelola swasta. Paling banyak tidak lulus uji kompetensi pun dari perguruan tinggi swasta ini. Tapi yang disuarakan adalah adanya upaya menghalangi dokter untuk melayani masyarakat.
    “Sangat riskan jika dokter yang tidak kompeten dipermudah mendapatkan sertifikat dokter ini. Seperti apa kualitas kesehatan masyarakat jika ditangani dokter yang tidak kompeten. Ada bagusnya pemerintah mulai melakukan moratorium pendirian Fakultas Kedokteran baru?” ungkapnya.
    Sang dekan juga mengunkapkan fakta bahwa soal-soal uji kompetensi sangat mudah dan telah disesuaikan dengan berbagai uji coba dan feedback yang masuk. Baru diujikan. “Soal itu disesuaikan dengan kemampuan dokter umum lho,” paparnya.
    Terkait soal biaya, Wirsma Arif mengusulkan agar pemerintah menetapkan batas atas dan batas bawah untuk biaya pendidikan kedokteran. Hal ini diperlukan agar pihak universitas maupun yayasan dibatasi untuk menjadikan fakultas kedokteran sebagai lumbung pemasukan untuk pengembangan kampus mereka.
    Dia pun mengapresiasi keberadaan dewan pengawas (dewas) sebenarnya bagus. Tapi anggotanya nanti juga ada wakil dari 83 penyelenggara pendidikan kedokteran. Kemana mau dicarikan dewas dan bagaimana membayarnya.
    Hal itu dibenarkan oleh dr Rizki Rahmadian, SpOT (K), M.Kes, ahli ortopedi yang kini menjabat Wakil Ketua IDI Sumbar. Pria yang ikut dalam pembuatan soal uji kompetensi ini menyatakan IDI juga sangat peduli dengan mutu lulusan fakultas kedokteran dan sebarannya. Selain penerimaan mahasiswa, kurikulum perlu dievaluasi pelaksanaannya agar kualitas lulusan meningkat. Lalu standard kompetensi dokter Indonesia yang ada saat ini perlu direvisi hingga benar-benar cocok dengan kasus-kasus di lapangan.
    “Saya melihat, kemampuan klinis seorang dokter umum jauh menurun. Saya berpendapat mutu fakultas kedokteran perlu diawasi dengan ketat dan kompetensi dokter harus dibuktikan,” ungkapnya.
    Dr Adrizal Rahman, SpM (konsultan RS M Djamil Padang) dan dr. Oeya Kirsyaf SpP (K) dari M Djamil) juga memberikan penegasan senada. Pendapat lebih lugas diungkapkan oleh Dr. dr. Masrul, MSc, SpGK mengungkapkan bahwa ada delapan aturan pemerintah yang harus ditetapkan. Tapi yang ada baru satu.
    “Peran pemerintah sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang No.20 tahun 2013. Tapi payung hukum bagi pemerintah tidak tercantum. Aturan turunannya pun belum ada. Ini yang harus disegerakan pemerintah,” ungkapnya.
    Masrul menyarankan agar konsistensi pelaksanaan undang-undang perlu diperhatikan pemerintah. Lalu diupayakan pula membatasi kepentingan pihak-pihak swasta pemilik modal untuk bebas mengembangkan fakultas kedokteran.
    “Jadi, menurut hemat saya, pemerintah harus hadir dalam pengembangan pendidikan kedokteran ini. Perkuat saja undang-undang nomor 20 tahun 2013 yang sudah bagus ini,” pungkasnya. (*)

    Tidak ada komentar

    Masukan dan informasinya sangat penting bagi pengembangan situs kita ini...

    Pendidikan

    5/pendidikan/feat2