• Breaking News

    Hari Pajak, Sebuah Bilik Sejarah Bagi Yang Mau Merindu

    “Datuk, jangan berlebihan. Aku ikut serta dalam perang Belasting semata-mata hanya ingin merampok pajak-pajak rakyat itu dari Belanda dan membagi-bagikan kembali kepada rakyat, tentu dengan sedikit keuntungan untukku dan kelompokku. Ya, anggap saja itu sebagai upah.” 

    Kutipan dialog ini terdapat dalam Naskah Lakon “Sarekat Djin” karya Pinto Anugrah, M.A Dt. Rajo Pangulu, seorang penulis novel dan peneliti budaya. Karyanya menang pada Sayembara Penulisan Lakon Indonesia yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017.

    Naskah Lakon tersebut kurang lebih menggambarkan situasi sosial-kultural masyarakat Minangkabau pada tragedi Perang Kamang tahun 1908 yang dikenal luas oleh masyarakat Minangkabau sebagai “perang pajak” atau “perang anti-belasting”. Dalam wawancara saya dengan Datuk Pinto, Beliau menambahkan, “Satu catatan penting, menduduki Minangkabau adalah kerugian terbesar Belanda secara finansial. Belanda banyak mengeluarkan uang untuk infrastruktur tapi gak mendapat apa-apa dari sana.” 

    Perang Kamang terjadi di Bukittinggi pada tanggal 15-16 Juni 1908. Latarbelakangnya adalah anggapan masyarakat Minangkabau bahwa penarikan pajak itu menambah beban ekonomi dan juga melanggar kesepakatan yang telah diambil di antara kedua belah pihak di mana Belanda sepakat untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat. (Sudarmoko, 2010:70). Untuk mengenang sejarah Perang Kamang, masyarakat Minangkabau membangun Tugu Perang Kamang yang berlokasi di daerah Tangah, Nagari Kamang Mudiak.

    Beranjak mundur dari sistem pajak periode kolonial, sebenarnya sistem perpajakan sudah dikenal pada periode sejarah yang ditandai oleh keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu, Budha, dan Islam di Nusantara. Disebut “upeti” pada masa itu. Sistem pungutan ini sifatnya memaksa namun masyarakat yang membayar upeti diberikan imbalan berupa jaminan keamanan dari raja. Sebuah konsekuensi logis dari berkembangnya hegemoni paternalistik masa itu. Istilah “pajak” sendiri berasal dari kata serapan “pajeg” dalam Bahasa Jawa yang dimaknai dengan pembayaran landrente yang berlaku pada masa kolonialisme Belanda.

    Gedung Chuo Sangi In (sekarang dikenal dengan Gedung Pancasila, terletak di Jalan Pejambon Nomor 6 Jakarta) adalah saksi bisu sidang kedua BPUPKI yang berlangsung pada 10-16 Juli 1945 yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Hari Pajak. Peringatan Hari Pajak ditetapkan pada 14 Juli karena dalam sidang kedua BPUPKI yang berlangsung pada 14 Juli 1945 itu, sang “dokter jiwa” yang diangkat sebagai ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat, menuturkan bahwa pungutan pajak harus diatur dalam hukum. Dalam Rancangan Kedua UUD, kata “pajak” muncul pada BAB VI, pasal 23 butir kedua yang berbunyi, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Pada 16 Juli 1945 pajak dimasukkan sebagai sumber penerimaan utama negara.

    Bicara soal Hari Pajak akan berbeda ketika kita melibatkan dua atau lebih negara dengan kondisi sosiohistoris yang berbeda pula. Hari Pajak atauTax Day di Amerika Serikat berbeda dengan Hari Pajak yang diperingati secara nasional di Indonesia. Di Amerika Serikat Tax Day merupakan tenggat waktu pengembalian pajak penghasilan dari pendapatan yang masyarakat Amerika Serikat peroleh di tahun fiskal sebelumnya kepada pemerintah. Sedangkan Hari Pajak di Indonesia adalah wujud sikap nasionalis bangsa Indonesia dalam merekam peristiwa sejarah perjalanan bangsa, terutama dalam bidang perekonomian. 
    Patut diketahui, peringatan Hari Pajak ini baru berlangsung untuk kedua kalinya pada 2019 ini setelah sebelumnya ditetapkan dan dirayakan untuk pertama kali pada 14 Juli 2018. Tepatnya setelah dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017 Tentang Penetapan Hari Pajak.

    Sebagai satuan kerja yang dinaungi oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Solok (KPP Pratama Solok) turut berpartisipasi dalam ajang peringatan Hari Pajak ini. KPP Pratama Solok melaksanakan sebanyak sembilan kegiatan, yaitu upacara bendera, publikasi elektronik, penulisan artikel di media, pernyataan pejabat/tokoh masyarakat, jalan sehat dan senam, kegiatan keagamaan, DJP Peduli AnakYatim, donor darah, dan pertandingan olahraga. Perlu diingat bahwa peringatan Hari Pajak ini bukan semata ajang selebrasi internal Direktorat Jenderal Pajak namun masyarakat luas juga diberikan ruang untuk ikut terlibat dan menyaksikan peringatan Hari Pajak. Hal ini juga merupakan core value dan representasi dari sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, seperti kutipan Abraham Lincoln yang terkenal: Government of the people, by the people, for the people shall not perish from the earth.

    Memberi tokoh masyarakat kesempatan untuk terjun langsung dalam peringatan Hari Pajak ini secara tidak langsung adalah salah satu upaya persuasif KPP Pratama Solok dalam merangkul masyarakat luas demi membenahi paradigma yang selama ini berkembang khususnya di masyarakat Minangkabau terkait pajak (baca lagi sejarah Perang Kamang). Hal yang serupa juga menjadi target kegiatan jalan sehat dan senam. Kegiatan DJP Peduli Anak Yatim merupakan kegiatan amal yang juga rutin diselenggarakan KPP Pratama Solok dalam event lain seperti acara berbuka puasa bersama. Kegiatan donor darah juga kegiatan rutin peringatan Hari Pajak yang diadakan juga tahun lalu dengan mengundang pihak Palang Merah Indonesia.

    Bakat dan minat para pegawai KPP Pratama Solok dapat tersalurkan melalui kegiatan penulisan artikel di media dan pertandingan olahraga. Dengan kegiatan menulis, pegawai dapat berlatih menyuarakan opininya dengan berpedoman pada kaidah penulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan kegiatan olahraga, kekompakan yang terbentuk sangat berguna dalam membangun sense of belonging di antara seluruh pegawai yang kemudian diharapkan mampu menciptakan budaya organisasi yang kuat dan otentik. 

    Kegiatan keagamaan juga tetap dijalankan demi mempertahankan nilai religius bangsa Indonesia. Dari semua kegiatan tersebut di atas, ada kegiatan fundamental yang dilakukan dalam menghayati perjalanan historis bangsa (peringatan Hari Pajak dalam hal ini) yaitu upacara bendera. Masyarakat Indonesia usia bekerja tidak lagi dihadapkan pada rutinitas upacara bendera setiap hari Senin layaknya masyarakat Indonesia usia belajar, sehingga untuk mencegah keterlupaan terhadap sejarah bangsa yang juga merupakan identitas bangsa, yang mau tidak mau juga menjadi bagian dari identitas masing-masing dari kita sebagai individu, maka upacara bendera bagi pegawai KPP Pratama Solok dapat dikatakan kegiatan yang fardu’ain.

    Bertambahnya satu lagi hari peringatan nasional ini membuka cakrawala pikiran masyarakat Indonesia atas komposisi-komposisi historis yang menopang berdiri dan berlangsungnya hidup bangsa Indonesia. Semakin bertambahnya hari-hari peringatan peristiwa sejarah lainnya maka Indonesia akan semakin berpeluang menemukan dirinya (sebagai sebuah proses dan tujuan di saat yang sama), di tengah modernitas global dan pasar bebas, teknologi informasi yang mengeruk dindingi dentitas dan privasi, serta gerakan-gerakan separatis yang memecah belah, Indonesia harus mampu ambil posisi dan berdiri tegak menantang, meski dikerumuni pergumulan dan pergolakan sana-sini.
    Selamat Hari Pajak.


    Oleh: Threesya Aldina - Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Solok

    Tidak ada komentar

    Masukan dan informasinya sangat penting bagi pengembangan situs kita ini...

    Pendidikan

    5/pendidikan/feat2